Rabu, 16 Juni 2021

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail

 

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Karya Taufiq Ismail

 

I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 


Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia 


Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya

Dadaku busung jadi anak Indonesia


Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini 

 


II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,


Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan, 


Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,


Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,


Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,


Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak

putus dilarang-larang,


Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat

belanja modal raksasa,


Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang

saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan

pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan

diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 


Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,


Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima

belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,


Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,


Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror

penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil

bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor

pertandingan yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala

Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala

Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,

India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah

Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat

terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur

Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula

pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta

terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan, 


Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di

tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.


1998

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KRITIK DAN ESAI

            Dunia Sastra termasuk yang luas, Karya sastra merupakan dunia imajinasi yang memberikan makna tertentu kepada pembaca, karya sastra mampu membuat pembaca seolah-olah merasakan apa yang telah terjadi di dalam puisi tersebut. Karya sastra mampu mengajak pembaca berimajinasi sesuai dengan konteks yang dibaca. Seorang pengarang ketika menyuguhkan suatu karya sastra, pasti kata-kata itu mampu memberikan makna.  Suatu karya sastra akan tidak berdaya, jika tidak memiliki unsur seni. Karya sastra juga gambaran hasil rekaan seseorang dan menghasilkan kehidupan yang mewarnai sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang.

 

Kumpulan puisi “Malu (Aku) jadi Orang Indonesia” karya Taufiq Ismail merupakan catatan-catatan emosional zaman dengan gejolak politik dan sikap bangsa Indonesia. Jika di kaitkan dengan kehidupan sehari-hari atau diambil dari hal menarik maka puisi ini dapat dikaitkan dengan kritik social. Dalam puisi ini suatu tanggapan yang diberikan pengarang terhadap permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Jadi, kritik sosial dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) merupakan masalah sosial yang terekam oleh pengarang dan dituangkan dalam bentuk karya sastra. Dengan demikian, kritik sosial tersebut adalah permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

 

Faktor penyebab terjadinya kritik sosial dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) Karya Taufiq Ismail, berkaitan erat dengan bentuk-bentuk kritik sosial tersebut. Puisi ini menceritakan tentang ketimpangan ekonomi dalam masyarakat, keberpihakan kebijakan pemerintah, dan militeristik yang dominan dalam pemerintahan. Oleh sebab itu, keberpihakan birokrasi pemerintahan pada kepentingan orang banyak akan dapat merugikan banyak pihak.

 

Kritik Sosial dalam puisi ini mengambarkan masalah kemiskinan dan lapangan pekerjaan, masalah kejahatan dan penangananya, dan masalah birokrasi politik, dan keamanan. Dari ketiga bentuk-bentuk kritik sosial tersebut, yang paling dominan adalah masalah kemiskinan dan birokrasi pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KRITIK DAN ESAI KUMPULAN CERPEN M. SHOIM ANWAR

  KRITIK DAN ESAI KUMPULAN CERPEN Karya: M. Shoim Anwar Dalam dunia sastra pada tanah air ini, nama M. Shoim Anwar siapa sih yang tida...